Buku ini berjudul Tarbiyah Siyasih (Menuju Kematangan Politik Aktivis Dakwah).
Judulnya memang agak gimana gitu ya, tapi sangat nikmat jika dibaca. Buku ditulis oleh Ahmad Dzakirin, Alumni Universitas Diponegoro yang ternyata juga menjadi pioner dalam kegiatan dakwah kampus di kampus tersebut pada zamannya.
Buku ini diterbitkan oleh PT Era Adicitra Intermedia.
Tebal buku: 152 halaman
Tarbiyah
siyasih saya arahkan ke tegaknya umat dalam sebuah masyarakat, negara atau
bangsa. Tegaknya umat itu akan ditentukan dari seberapa kuat aqidah yang mereka
miliki. Sementara tegaknya aqidah itu tergantung pula dengan bagaimana
dakwahnya. Dakwah yang tegak kokoh itu ditentukan dengan bagaimana tarbiyahnya,
dan tarbiyah akan ditentukan tentang bagaimana kita hari ini (Abdurrahman Amin,
Kawilda Kalimantan DPP PKS).
*******************************************
Menyongosong
mihwar daulah bukanlah dengan fokus mengurusin negara dan meninggalkan esensi
proses tarbiyah pribadi. Dinamika yang terjadi dikelompok-kelompok kecil harus
terus dijaga bahkan ditingkatkan hari demi hari. Lesunya kelompok kecil
tersebut merupakan permasalahan besar bagi perjalanan menuju proses
selanjutnya.
Jika
kita kaji tentang substansi islam, sebenarnya akan selalu sesuai dengan
modernitas. Namun karena kebodohan kita, maka isu yang disodorkan oleh
tokoh-tokoh kontra tentang buruknya islam (cinta perang, memberangus, menindas
wanita dan sebagainya) lebih mendominasi dibandingkan keindahannya, lebih parah
lagi beberapa orang bahkan kelompok ikut serta menjadi korban bahkan mendukung
pernyataan yang diungkapkan tokoh-tokoh kontra tersebut (Samuel Huntington dan
teman-temannya).
*******************************************
Kita
umat islam ini, khususnya kader dakwah seringkali lupa dengan mana hal-hal yang
substansial mana yang tidak, mana hal tsawwabit dan mana yang mutaghayyirat.
Sehingga friksi yang terjadi dan diisukan tidak dapat kita bendung dengan
tindakan yang konstruktif. Kenapa hal itu bisa terjadi? Salah satu faktornya
adalah karena kita memang tidak mengerti bagaimana islam itu sebenarnya.
Ada
banyak kalangan yang menginterpretasikan bahwa islam dan sistem modern saat ini
harus dipisahkan karena akan selalu bertentangan, meski begitu masih banyak
tokoh-tokoh yang berpandangan bahwa kehadiran islam itu sesuai dengan
nilai-nilai modern. Kita tentu tidak menginginkan jika sinisme terhadap islam
itu hadir dan muncul dari kalangan kita sendiri, pegiat dakwah sendiri, karena
kebodohannya dan lemahnya ikhtiarnya dalam meningkatkan muswashofatnya menjadi
lebih baik. Tentu saja perkembangan mihwar harus diiringi dengan pertumbuhan
muwashofat yang lebih besar, agar ketika kebijakan-kebijakan yang diambil tidak
membuat decak kaget dikalangan internal kader itu sendiri. Tidak hanya sebatas
mengandalkan tsiqah tanpa dasar, sehingga ia bekerja pada hal-hal yang ia tidak
tahu substansinya atau lebih parahnya menjadi pembelot.
*******************************************
Lihatlah
saat ini bagaimana kalangan saudara kita yang ingin mendobrak isu “kebekuan
sistem” dengan membangun kritisisme umat, namun setelah diperhatikan lebih
jauh, ternyata kekritisan itu telah kebablasan. Kita bebas berpendapatan, bukan
bebas dari pendapat.
Menuju
mihwar tertinggi ini tentu harus diikuti
dengan pemahaman agama yang lebih baik dan sempurna, tidak hanya
memandang islam sebagai ibadah mahdah semata, orang islam (khususnya kita kader
dakwah) hendaknya membangun cara berfikir yang kritis, namun dengan catatan “konstruktif”. Syekh Yusuf Alqardhawi “kaum muslimin perlu memadukan unsur
nash/revelation dengan akal/reasoning. Membangun
akal membutuhkan proses interaksi, open minded dan transformasi pengetahuan
secara terus-menerus dengan lingkungan sekitarnya, sehingga kita dapat secara
optimal dalam melakukan ijtihad.Jikapun kita hendakn melakukan rekonstruksi,
maka hendaklah ia kreatif dan inovatif.
*******************************************
Pandangan
politik barat sejatinya mewarisi pemikiran filsafat Yunani dan
Romawi/Hellenisme, yang tercermin dalam pandangan hidup yang mengagungkan
kebebasan, optimisme, sekularisme, pengagungan terhadap jasmani dan akal dan
mengkultuskan individu. Pandangan hidup praktis dan mengabdi kepada kepentingan
manusia sehingga empirisme dan rasionalisme merupakan satu satunya alat ukur
kebenaran.
Dalam
politik menurut Machiavelli bahwa keahlian yang dibutuhkan untuk mendapatkan
dan melestarikan kekuasaan adalah perhitungan yang tepat. Namun hukum dan
tentara yang baik dasar sistem pemerintahan yang baik. Negara yang kuat hendaknya dilihat dari
kerangka medis, buoan etis. Bahkan ada pepatah bahwa rakyat yang berkhianat
harus diamputasi karena akan menginfeksi seluruh rakyat.
*******************************************
Makna
siyasah jika dikaitkan dengan masyarakat dapat diartikan sebagai pemeliharaan
(riayah), perbaikan (ishlah), pemberian petunjuk (taqwim) dan pendidikan
(ta’dib), juga bisa kepeimipinan. Jika diartikan dalam makna yang panjang, maka
siyasah adalah segala upaya untuk
memperhatikan urusan kaum muslimin, dengan jalan menghilangkan kezaliman
penguasa dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Dalam hal siyasah
tersebut, maka kaum muslimin harus mengetahui apa yang dilakukan pemimpinnya,
mengingkari keburukan yang dilakukan pemimpin, menasihatinya jika durhaka dan
memeranginya bila ia kufur. “Jihad yang utama adalah kalimat haq di depan
penguasa jahat (HR. Ahmad).
*******************************************
Garis
besar konsepsi kepemimpinan politik adalah mencakup kewajiban mewujudkan
kemaslahatan dan menyingkirkan kerusakan bagi umat manusia, bukan hanya sebatas
membahagiakan manusia dengan berlepas diri dari pengabdian kepada Tuhan.
Pendidikan
politik mencakup tiga aspek utama
1. Munculnya kesadaran politik,
pengetahuan yang luas dan integral, mampu membuat analisis matang dan
menempatkan diri dalam arus perubahan.
2. Terbentuknya kepribadian politik,
munculnya orientasi, nilai, loyalitas yang memiliki pengetahuan, informasi adn
konsep utuh politik itu sendiri.
3. Munculnya partisipasi politik yang
aktif baik dalam organisasi politik/kelembagaan.
Adapun
sasaran output pendidikan politik islam adalah
a. Apsek kognitif, berpengetahuan
tentang sistem politik islam yang merupakan komponen syumuliatul islam. Kita
harus memahami dan mempelajari sistem politik tersebut secara matang agar kita
yakin betul dan mampu memaparkan bahwa sistem politik islam itu khas dan
berbeda dengan pemikiran manusia serta selalu mampu menjadi solusi. Menurut abu
hayyan, ke khasan sistem politik dilihat dari dua sisi, yaitu cara menegakkan
hukum secara adil dan benar serta memakmurkan bumi (menegasikan cara pandang
yang eksploitatif).
b. Aspek implementatif, yaitu pendidikan
politik mewujudkan kaum yang awalnya afiliatif menjadi partisipatif dan
kontributif (annis matta).
*******************************************
1. Khalifah/Pemimpin/Kepemimpinan,
kepemimpinan dalam konteks khalifah adalah merefleksikan pemahaman terhadap
nilai dan prinsip kepemimpinan yang benar menurut islam, ketimbang sebuah eksistensi maupun bentuk pemerintahan.
Disebutkan bahwa Rasulullah mengadopsi sistem administrasi pemerintahan Romawi dan
metode pengelolaan kekayaan negara ala Kerjaan Persia. Perkembangan akan selalu
ada seiring perkembangan zaman, namun nilai islam akan tetap begitu sampai
akhir zaman. Pengadilan mislanya, dimulai pada masa Ali Ibn Abi Thalib yang
mana pada saat itu wilayah islam yang meluas dan merosotnya moral manusia,
sehingga diangkat Syuraih r.a. Menurut Al-mawardi, ada 10 tugas pokok
pemimpinan dalam islam, yaitu: menjaga kemurnian agama, membuat keputusan hukum
diantara pihak yang bersengketa, menjaga kemurnian nasab, menerapkan hukum
pidana islam, menjaga keamanan wilayah dengan kekuatan militer, mengorganisasi
jihad, mengumpulkan dan mendistribusikan harta rampasan perang dan zakat,
membuat anggaran belanja, memberikan kewenangan kepada orang yang amanah,
melakukan pengawasan melekat pada hierarki dibawahnya dengan tidak semata
mengandalkan laporan.
2. Karakter Kepemimpinan Islam,
kepemimpinan islam adalah kepemimpinan representase, mandatnya tidak ditentukan
oleh Tuhan namun oleh rakyat. Kedaulatan adalah milik Tuhan namun sumber
otoritas adalah kaum muslimin. Pemimpin dipilih dan diawasi rakyat. Adapun
kelembagaan yang ingin dibentuk dapat dibuat dengan pertimbangan yang benar.
Tabiat kekuasaan tanpa kendali moral akan cenderung korup dan menindas, maka
selain integritas moral dibutuhkan sistem yang dapat menggaransi tabiat jahat
kekuasaan itu muncul (Lord Acton).
3. Syarat Kepemimpinan dalam Islam,
secara umum syaratnya adalah keluasan pengetahuan dan jasmani, sebagaimana
dikisahkan tentang Thalut (Al-baqarah, 247). Menurut Ibnu Taimiyah, syarat
kepemimpinan ada dua aspek, yakni aspek kekuatan (ilmu dan fisik) serta dapat
dipercaya. Sementara Al-Mawardi menetapkan tujuh syarat: adil, mampu
berijtihad, sehat jasmani, tidak memiliki cacat fisik yang menghalangi,
memiliki visi kuat, pemberani dalam mengambil keputusan, memiliki nasab quraisy.
Sementara menurut ibnu Khaldun: ilmu, keadilan, kemampuan serta keselamatan
indra dan anggota tubuh lain. Kalau menurut nash dan pandangan ulama,
setidaknya ada 3 syarat utama kepemimpinan yang meliputi: integritas keilmuan,
moral dan kemampuan profesional. Namun apabila dihadapkan pada keadaan yang
harus memilih diantara kedua yang buruk,
maka Ibnu Taimiyah menunjukkan agar memilih yang lebih utama dari
keduanya.
4. Mekanisme Pengangkatan Kepemimpinan.
Tidak ada mekanisme yang diharuskan dalam menetapkan pemimpin, rasulullah tidak
memilih Abu Bakar sebagai khalifah, meski ia menggantikan nabi sebagai imam
sholat. Namun merupakan hasil kesepakatan kaum muslimin. Umar juga tidak
sewenang-wenang dipilih abu bakar, namun setelah kesepakatan. Utsman juga
merupakan hasil musyawarah, sementara Ali naik secara aklamasi. Kepemimpinan
merupakan dari rakyat sementara kedaulatan adalah milik Tuhan. Sementara
pendelagasian kekuasaan mengacu pada dua hal, yaitu penetapan kekuasaan politik
melalui metode pemilihan (pencalonan maupun keputusan rakyat). Kemudian kontrak
politik dijalankan sesuai koridornya.
5. Sistem Legislatif, dapat terdiri dari
para ulama, pejabat daerah, kepala suku, kelompok profesional dan kelompok
intelektual. Tugas mereka secara umum adalah menetapkan dan menjelaskan hukum
serta mengangkat dan memberhentikan kepala negara. Mekanisme pemberhentian
pemimpin hendaklah disusun dengan damai sehingga minus pertumpahan darah.
Menumbuhkan jiwa malu dan sadar dengan diri sendiri menjadi sangat penting
dalam menurunkan pemimpin. Richard Nixon (presiden AS) mundur setelah terbukti
skandal watergate, Tony Blair perdana menteri inggris tidak maju dua periode
setelah dikritik tajam dalam skandal irak.
*******************************************
Rotasi
kepemimpinan
Rotasi
kepemimpinan tidak memiliki nash yang mengharuskan terjadinya pembatasan durasi
kekuasaan. Pembatasan durasi kekuasaan yang dianut saat ini pertama kali
dilakukan oleh AS dalam amandemennya yang memberikan kesempatan memimpin hanya
dua periode. Setidaknya, ada beberapa pertimbangan yang dapat diketahui dalam
pentingnya rotasi kekuasaan. Pertama,
rentang kepemimpinan yang lama dipandang memberikan kesempatan bagi pemimpin
untuk mengondisikan kekuasaan untuk kepentingan dirinya. Kedua, pentingnya menjaga regenerasi dan kaderisasi dalam upaya
optimalisasi potensi dan eksistensi umat. Ketiga,
mengutip pernyataan syekh Yusuf Alqardhawi bahwa rotasi kepemimpinan akan
menjaga kedamaian dan ketenangan umat.
*******************************************
Prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan
dalam Islam
a. Prinsip Syura (as-syura 38) dan diperkuat
dengan Ali-Imran 159. Penguasa yang tidak meminta nasehat kepada ulama wajib
dipecat (Ibu Hajar dalam Fathul Bari.
b. Prinsip Keadilan, adil itu dapat
diartikan tindakan sama “Adl”, wajar “Qisth” dan memberikan hak kewajiban
seimbang “mizan”.
c. Prinsip Kebebasan. Salah satu isu
krusial dalam perihal kebebasan adalah kebebasan berpolitik. Iman Yusuf
Alqardhawi berpendapat bahwa dalam konteks kontemporer ini berpolitik sangat
diperlukan dengan pertimbangan berbagai hal, namun dengan syarat: mereka harus menerima islam sebagai prinsip
aqidah dan syari’ah & tidak dalam rangka memusuhi atau bekerja untuk pihak
yang memusuhi islam.
d. Persamaan, termasuk dalam
memberdayakan potensi peran perempuan sebagaimana yang diungkapkan Muhammad
Thahhan.
*******************************************
Islam
dan Demokrasi
Dalam
islam, dikenal istilah syura, syura dan demokrasi memiliki makna denotasi yang
sama yaitu wujud partisipasi publik. Namun dalam syura kedaulatan berada pada
Tuhan melalui nash-nash nya, sehingga pemecahan masalah selalu terkerangka
dalam konsep syari’at. Sementara
demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat. Sistem yang sesuai syari’at tentu
harus kita terapkan sebisa mungkin dari sekarang. Tidak membiarkan sistem yang
tidak sesuai berjalan begitu saja meski keadaan aman-aman saja. Islam tidak
akan pernah bangkit tanpa perlawanan. Sementara perlawanan tidak dapat
dilakukan tanpa adanya kesadaran progresif dari umat. Dalam melakukan
perlawanan tidak harus dengan kekerasan, kita tetap berjalan pada kesepakatan
yang telah disetujui bersama namun dengan menyebarkan nilai-nilai islam itu
supaya terpasarkan dengan baik. Bahkan kendatipun umat ternyata dirugikan atas
perjanjian yang telah disepakati, maka kita tidak bisa membatalkan perjanjian
itu secara sepihak tanpa pengetahuan lawan. Sudaraku, sistem islam itu sudah
kita yakini telah sempurna dan tentunya ideal (kualitas yang islami dan
modelnya yang komprehensif), namun barangkali kita belum memahaminya dengan
baik, sehingga akhirnya kita malah memunculkan perlawanan/anti terhadap sistem
lain, bukan dikarenakan kita memahami sistem yang ingin kita tawarkan, namun
kita tidak memahaminya sedikitpun dan parahnya kita menolak karena merasa
rendah dan tidak mampu dan mau bersaing dengan cara-cara yang elegan. Akhirnya
kita tidak mampu memasarkan islam itu bahkan kepada target terdekat kita, umat
islam itu sendiri.